#Abunawas
Suasana Pelaksanaan Penilaian Akhir Semester Ruang 1 MTs. Muhammadiyah Kota Jayapura
Jayapura, 5 Desember 2023, abunawaslink.com — Pukul 10.00 WIT, suasana sunyi dan tenang mengiringi pelaksanaan Penilaian Akhir Semester Ganjil tahun pelajaran 2023/2024 MTs. Muhammadiyah Kota Jayapura. Peserta ujian merupakan penggabungan kelas 7, 8, dan 9 secara proporsional menjadi satu ruangan. Mereka mengerjakan soal mata pelajaran Akidah dan Akhlak. Saya mengawas mereka dengan sedikit suntuk. Sembilan puluh menit adalah waktu yang teramat lama, bila diisi dengan menunggu tanpa kegiatan pengganti. Hal ini, tidak boleh dibiarkan kecuali menulis.
Beberapa hari yang lalu, saya telah menyalin satu kalimat penuh nasihat dan motivasi dari buku, “7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif” Sub judulnya adalah, “Dahulukan yang Utama!”, Kedengarannya sarat makna dan pesan arti kehidupan, tetapi mewujud-nyatakan dalam perilaku, agak bahkan sering terbalik, “Mengemudiankan yang Utama!”
Dua puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2000, saya belajar mengaji dan mengkaji Al-Qur’an melalui kegiatan “I’tikaf Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan”. Setelah itu, secara progress, ilmu pengetahuan tentang agama dan seluk-beluknya bertumbuh secara signifikan. Salah satunya adalah prinsip mendahulukan yang utama. Prinsip ini, biasanya saya mengaitkan dengan ayat ke-15, ke-16, dan ke-17 surat Al-A’la, di mana urusan dunia segera ditinggal apabila terdengar seruan menghadap Allah. Dalam konteks ini, saya terkadang merasa terjebak ketika sedang asyik dengan urusan duniawi, tanpa dirasa waktu sholat jelangtiba, dan suara adzan berkumandang. Pertempuran batin antara ketaatan berbingkai iman melawan kemasksiatan berselimut syahwat. Situasi yang sama, juga sering terjadi setelah sholat fardlu (berjamaah), antara menahan diri untuk berwirid, berdzikir, dan berdoa berhadapan dengan keinginan untuk beralih dengan segera pada urusan duniawi.
Pemahaman akan “Dahulukan yang Utama” menjadi sangat jelas terasa maknanya, ketika saya menyimak perdebatan antara seorang pembeli dan seorang alim di depan seorang penjual. Permasalahannya pun sederhana, tetapi sangat prinsip, yaitu perkalian tiga kali delapan. Si pembeli mengatakan hasil perkalian tersebut adalah dua puluh tiga. Tetapi, si alim berusaha meluruskan dengan jawaban adalah dua puluh empat. Si pembeli kukuh mempertahankan jawabannya, demikian juga si alim. Sampai pada akhirnya, mereka bersepakat untuk mengadukan perihal berdua pada seseorang arif bijaksana, dengan disertai persyaratan, bila si alim benar maka si pembeli merelakan lehernya dipenggal. Sebaliknya, bila si pembeli benar, maka jabatan si alim akan menjadi milik si pembeli. Deal…? Deal…!
Tetiba di depan “orang arif bijaksana tersebut”, mereka berdua sangat serius menanti keputusan. Tanpa menunggu lama, ternyata keputusan memihak pada si pembeli, maka bergembiralah dia. Si pembeli menikmati perjalanan pulang ke rumahnya dengan sangat riang, dan ia kemudian menjadi pejabat dadakan sebagai hasil pertaruhannya melawan si alim. Sebaliknya, si alim tersebut harus menelan “pil” kekecewaan luar biasa. Ia tidak menyangka, orang yang ditempati bertanya dan dijadikan hakim atas perdebatan mereka, ternyata tidak mendukungannya, padahal dirinya adalah murid dari orang arif bijaksana itu. Si alim yang mengalami kekalahan perdebatan tersebut, berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kekecewaan dan kemarahan pada gurunya. Ia meminta ijin pada gurunya untuk beristirahat di kampung.
Sebelum berangkat, si alim menerima wejangan dari gurunya, dengan dua pesan, yaitu, “Ketika terjadi hujan lebat, jangan berhenti dan berteduh di bawah pohon. Ketika sampai di kampung, janganlah membunuh siapa pun!”. Sebagai murid berbakti, si alim sangat memerhatikan wejangan gurunya itu. Kemudian, si alim menjadi semakin mengagumi gurunya, ketika terjadi hujan lebat, pohon yang dilewati terkena petir dan tumbang. Demikian pula, ketika sampai di rumahnya – di kampungnya, si alim mendapati isterinya sedang bersama seseorang dalam selimut. Ia pun murka dan menghunus pedangnya. Ketika, ia mengayungka pedangnya, dirinya teringat akan pessan gurunya, “Jangan Membunuh!” maka dengan setengah berteriak, ia meminta pada orang yamg berada dalam selimut bersama istrinya untuk menampakkan diri. Ternyata, orang yang berselimut itu, adalah adiknya. Batinnya yang dalam bertanya, “Kok gurunya manahu tentang pohon terkena petir dan tumbang, dan adanya seseorang yang bersama dengan istrinya.
Tersadar akan syahwa sangka pada gurunya, si alim bergegas kembali menemui gurunya, dan memberi pengakuan atas peristiwa yang terjadi. Kesadaran akan “kewalian” gurunya, semakin menguat, saat itu. Namun, si alim tetap menyimpang penasaran akan perdebatanya dengan si pembeli, beberapa waktu yang lalu. Sang guru sangat menikmati kebersamaan dengan muridnya yang baru pulang itu. Sang guru, dengan penuh kearifan berkata, “Saya mengetahui alasan engkau meminta ijin beristirahat di kampung. Dirimu kecewa dan marah karena saya telah membenarkan pembeli dan menyalahkan dirimu dalam perdebatan itu. Kalau, saya membenarkanmu maka hukum penggal leher bagi si pembeli, dan karena saya membenarkan pembeli maka jabatanmu menjadi lenyap. Lebih utama mana, antara nyawa si pembeli atau jabatanmu?” Demikian, sang guru menutup dialog dengan kalimat retorisnya (Confucius dan sang murid).