ABUNAWASLINK.COM
Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah pengharapan berkurang kepada Allah ketika khilaf/kesalahan”
Imam Sibawaih El-Hasany dalam ulasannya bahwa tidaklah mudah melepaskan diri dari keterikatan hati pada apa yang dikerjakan, bahkan pikiran dan perasaan sering terpenuhi dengannya. Bukan hanya saat mengerjakan, tetapi terlebih sesudahnya. Tentu karena kita menginginkan kesempurnaan ikhtiar hingga akhir. Hal mana menyebabkan kita lalai menempatkan Allah dalam perbuatan dan tindakan (QS:53:23-24). Padahal, kita mestinya melibatkan-Nya sejak awal agar apapun hasilnya tidak mengubah kedudukan kita di sisi-Nya. Bekerja keras dan beribadah tetap seiring. Bila tergoda, luruskanlah niat (Imam Sibawaih El-Hasany: 2010)
Syekh Abdullah asy-Syarqowi al-Khalwati menjelaskan bahwa amal dimaksud adalah amal ibadah, seperti sholat, dzikir. Menurutnya, ada dua kelompok yang mengandalkan amal mereka, yakni para ‘abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Kelompok pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa-Nya. Sementara kelompok kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat dan berbagai rahasia ilahiyah. Kedua kelompok sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka terlahir dari dorongan nafsu dan percaya diri berlebih. Mereka sangat yakin kalau amal ibadahnya pasti membuahkan hasil seperti yang diinginkan.
Lebih lanjut, Syekh Abdullah asy-Syarqowi al-Khalwati membedakan kedua kelompok di atas dengan orang arif (orang yang mengenal Tuhannya dengan baik). Orang ‘arif tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Mereka sangat menyadari bahwa pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu adalah Allah SWT semata, sedangkan mereka adalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan-Nya.
Pengelompokan sebagaimana dimaksud agar setiap hamba dapat mengenal siapa diri dan termasuk kelompok mana. Apabila di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Yang Maha Rahmat yang akan memasukkan ke dalam surga dan menyelamatkan dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, maka dirinya termasuk kelompok abid atau murid. Akan tetapi, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, maka dirinya termasuk kelompok arif. Kelompok ini, apabila melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, maka dirinya mengembalikan bahwa perbuatannya merupakan ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula di saat menjalankan ketaatan atau merasa melihat Allah, maka kelompok arif tidak serta merta ‘mengklaim’ bahwa ketaatan dan kebaikan itu adalah atas daya dan upayanya. Kemudian rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiatnya tidak mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatannya pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya. Untuk mencapai “maqam” orang arif maka riyadah (olah raga batin) dan wirid merupakan solusi terbaik untuknya (Syekh Abdullah asy-Syarqowi al-Khalwati: 2013)
Jayapura, 3 Juli 2024