Jayapura abunawaslink.com – Kucing betina, berbulu abu-abu, berbadan gemuk adalah cukup menggemaskan. Lompatannya yang melewati etalase cukup mengagetkan dan menjengkelkan. Ia tidak menggubris pengusiran atas dirinya, malah terus berlari hingga kamar paling belakang (Gudang). Sekali lagi, pengusiran atas dirinya, tidak dihiraukan, bahkan ia melompat ke dalam karton, kemudian tidak ada suara, tidak ada pergerakan. Ternyata, ia langsung memeluk anaknya, matanya iba mengundang welas.
Kembali ke warung, dengan pekerjaan merapikan bumbu masak. Pemisahan menjadi renteng-renteng lusinan adalah membutuhkan keuletan dan kesabaran. Butuh waktu cukup lama karena jumlahnya cukup banyak. Sembari bersenandung “subhanallah – wal hamdu lillah _ wa laa ilaaha illallah – wallahu akbar” pandangan menancap pada makanan ringan yang kurang rapi. Tetiba, hati beristighfar atas kelalaian yang sebenarnya telah direncanakan sedari pagi, yaitu menata dan merapikannya agar tampak menyenangkan mata para pelanggan. Lisan beristighfar tembus sampai di hati.
Sementara itu, pikiran sekonyong-konyong beralih pada tuntunan membaca istighfar (minimal tiga kali) setelah salam menutup sholat. Kok, istighfar? Bukankah sholat adalah pengapus dosa? Kalau istighfar atas kelalaian menata dan merapikan makanan ringan yang telah direncanakan sedari pagi, maka istighfar usai melakukan sholat adalah ditujukan pada kelalaian dari gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan sholat yang tidak disertai “kehadiran hati”, dan tidak “khusu” (Imam Al-Gazali dalam Said Hawwa, 2015, hal. 47). Istighfar tersebut dimaksudkan untuk menambal dan menyempurnakan segala ketidaksempurnaan sholat. Sembari beristighfar, pikiran kita menelusur pada bagian-bagian, di mana terjadi kelalaian, misalnya ketika membaca basmalah, iyaka na’budu,…hati kita tidak hadir di situ karena adanya lintasan-lintasan pikiran (Ustadz Adi Hidayat).
Wallahu a’lam bishshowab
_____
Jayapura, 6 Juli 2023
